Padahal berbagai dokumen pemerintah
colonial Belanda menunjukan bahwa opium atau madat sudah merasuki
penduduk pulau Jawa sejak abad 17.
Bagian I
Opium bukan saja menjadi komoditas
perdagangan penting yang dimonopoli dan mendatangkan keuntungan yang
sangat besar kepada saudagar Belanda, tetapi juga secara tidak disadari
oleh orang Jawa termasuk para rajanya pada waktu itu, madat digunakan
oleh pemerintah colonial Belanda untuk melemahkan rakyat Jawa agar mudah
dikuasai. Buktinya hanya sekitar 27 ribu warga Belanda dan warga
Eropa lainya diwilayah Hindia Belanda dapat menguasai 30 juta
penduduk jawa, selama lebih dari 3 abad.
Negara Belanda yang luasnya tidak sampai
sebesar Jawa Barat dapat menguasai tanah air Indonesia yang luasnya
sama dengan benua Eropa atau hampir 10 juta kilometer persegi.
Hal
itu benar-benar merupakan aib sejarah bangsa Indonesia yang tidak
banyak terungkap dan tidak boleh terulang dalam sejarah Indonesia.
Perdangan madat memasuki Jawa berlangsung sejak sebelum VOC, oleh para
saudagar Arab yang terkenal sebagai pedagang madat yang dihasilkan dari
kawasan yang sekarang disebut daerah Bulan Sabit Emas, yaitu perbatasan
antara Afganistan, Pakistan dan Irak. Ketika itu madat sudah menjadi
komoditas penting dalam perdaganan di Asia Tenggara.
Tahun 1677, VOC mengadakan perjanjian
dengan Raja Amangkurat II dari Mataram untuk mendapatkan hak monopoli
atas importasi dan perdagangan madat diwilayah kerajaan Mataram. Jejak
kerajaan Mataram diikuti oleh kerajaan-kerajaan lain seperti Cirebon.
Inilah awal dari monopoli importasi dan perdagangan madat di pulau Jawa.
Selanjutnya colonial Belanda memperluas cakupan perjanjian sampai
akhirnya mencaplok seluruh wilayah tanah air Indonesia.
Perdagangan madat Belanda di Jawa meluas
dan meningkat secara bermakna sebagai hasil dari perjanjian 1677
tersebut. Sejak tahun 1619 sampai tahun 1799, dalam kurun waktu 180
tahun VOC telah mengimpor dan memperdagangkan madat mentah sekitar 56 kg
pertahun ke pulau Jawa atau sekitar 10.080 ton dalam 180 tahun.
Jumlah madat
mentah yang sebenarnya masuk di perdagangkan di pulau Jawa jauh lebih
besar dari jumlah tersebut, karena rentannya pantai utara pulau Jawa
terhadap penyelundupan dan tidak efektifnya pengawasan oleh Polisi
Belanda. Madat tersebut secara luas khususnya didaerah Pantura Jawa
dengan sederet pelabuhannya serta di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta yang padat penduduknya.
Tahun 1820 di Yogyakarta saja terdapat
372 tempat penjualan madat resmi yang mendapatkan lisensi dari pemegang
monopoli, yaitu setiap pos dan sub pos bea cukai dan pasar di Kasultanan
Yogyakarta. Para bangsawan termasuk para anggota pasukan Diponegoro
ditenggarai menggunakan madat, ternyata dari banyaknya prajurit yang
jatuh sakit karena tidak mendapatkan supply madat ketika berlangsung
Perang Diponegoro. Dengan diberlakukannya sistem Tanam Paksa dan
Belanda mendirikan Bandar-bandar madat resmi disebagian besar pedalam
pulau Jawa pada tahun 1830, jumlah pegawai pemerintah colonial Belanda
bertambah, dan madat menjadi lebih banyak tersedia dan penggunaannya
dengan cepat meluas.
Orang-orang Banten dan Jawa barat,
khususnya oang-orang Sunda dikabupaten-kabupaten di tanah Parahiyangan
dan tetangganya tidak tertarik oleh madat, mungkin karena nilai-nilai
agama dan ketaatan kepada agama islam. Mereka menyatakan kebencian local
terhadap madat dengan membuat larangan resmi. Parahiyangan dan Banten
tertutup bagi perdagangan madat sejak abad 19, dan tidak boleh menjadi
basis bandar opium resmi. Volume perdangan gelap madat didaerah ini
sangat kecil. Ketika awal abad 20, Belanda mengesahkan perdagangan madat
di banten, jumlah madat hanya sedikit dibandingkan dengan di daerah
lainnya.
Pasar madat terkaya ada di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Bandar-bandar madat Surakarta dan Karsidenan Semarang,
kediri dan Madiun, selalu menghasilkan pendapatan tertinggi selama abad
19. Daerah tersebut merupakan daerah kekuasaan para syahbandar madat
terkuat. Konsumsi madat perorangan secara ajeg (teratur) menunjukan
angka tertinggi di daerah-daerah ini. Karsidenan pesisir seperti
Rembang, dan Surabaya yang berdekatan Kedu dan Yogyakarta juga menjadi
tempat tinggal penduduk penghisap madat dalam jumlah besar . Daerah ini
didominasi oleh orang etnis Cina yang masuk dari kota-kota pelabuhan di
pantai utara masuk ke pedalaman dan melakukan perdaganagn madat yang
terus mengalami pertumbuhan sepanjang abad dimana terjadi persaingan
diantara para Bandar madat untuk memperebutkan pasar madat Jawa.
Karsidenan-karsidenan di pantura dari
Batavia ke timur sampai ke Pasuruan, Probolinggo , Besuki dan Madura
mempunyai jumlah penggguna madat yang cukup banyak untuk mendukung
bandar-bandar madat yang menguntungkan sepanjang abad 19. Walaupun
penggunaan madat per orang relative kecil di daerah pinggiran tersebut
di bandingkan dengan di daerah inti, karena wilayah luas dan penggunanya
jauh lebih banyak, masih lebih menguntungkan. Para Bandar madat di
Karsidenan pinggiran dipegang oleh orang-orang yang sama. Pada waktu
itu, menghisap madat merupakan ciri gaya hidup bukan hanya penduduk
perkotaan tetapi juga penduduk pedesaan Jawa.
Pengunaan madat oleh kalangan orang
Belanda diasosiasikan dengan perilaku buruk orang-orang Indo dan
penduduk daerah kumuh perkotaan, Tetapi dikalangan orang-orang etnis
Cina merupakan kebiasaaan popular dari orang-orang Cina kaya yang
menikmati pipa madat di rumah-rumah mereka dan klub-klub madat pribadi.
Hanya sedikit orang-orang etnis Cina kaya di Semarang yang bebas dari
madat, dan dipandang suatu kehormatan bagi tamu- tamu di rumah etnis
Cina bila mereka ditawari madat. Orang-orang etnis Cina miskin berbagi
tempat menghisap madat gelap di pondok-pondok umum dengan penduduk
setempat. Walaupun secara individual orang-orang etnis Cina mengkonsumsi
madat lebih banyak dibandingkan dengan orang-orang pribumi, bahkan
pecandu madat terparah adalah orang-orang etnis Cina. Mereka hanya
merupakan bagian kecil dari pasar madat. Sebagian besar madat
dikonsumsi oleh orang Jawa.
Pada tahun 1870-an madat terdapat di
mana-mana di pulau Jawa. Setiap desa mempunyai sejumlah pemakai tetap
dan lebih banyak lagi orang-orang yang menggunakannya kadang-kadang.
Madat sudah lama menarik bagi orang-orang seperti musisi, pengembara,
para pemain teater rakyat, para pedagang keliling dan para tukang dan
serta para pekerja upahan yang jumlahnya terus meningkat, seperti para
pemasang rel kereta api, pemetik buah kopi, pemotonmg tebu,
pengangkat barang-barang impor dan ekspor, dalam sebuah perekonomian
swasta yang maju pada abad ke-19.
Dikalangan priyayi jawa madat sudah lama
menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat . Di Jawa Tengah, tamu
laki-laki disuguhi madat pada pesta-pesta kaum bangsawan. Dalam
masyarakat desa dan perkebunan yang lebih bersahaja, perayaan-perayaan
yang menandai berakhir panen padi atau dimulainya masa petik kopi ,
sering kali disertai dengan dibagikannya madat di kalangan kaum
laki-laki. Menurut warga Bojonegoro pada tahun 1890 pada pesta di
desa-desa sudah menjadi kebiasaan bagi tuan rumah untuk menyediakan
madat bagi orang-orang yang menghisapnya. Para pamong desa yang hadir
pun dijamu madat.
0 Komentar
Silahkan beri komentar dengan bijak dan sesuai dengan topik artikel, karena semua komentar akan saya moderasi terlebih dahulu sebelum ditampilkan. Thanks :)
Salam Damai